Semua dokter di muka bumi
sepakat, rokok tak baik (baca: buruk) untuk kesehatan. Akibat buruk
yang yang ditimbulkan oleh asap rokok juga telah tertera dengan julus
pada bungkus rokok. Akibat buruk itu, antara lain, adalah meyebabkan
kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin.
Sayangnya, meski buruk untuk kesehatan, jumlah perokok di negeri ini
masih sangat tinggi.
Hasil Global Adult Tabacco Survey (GATS)
yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2011
menyebutkan, sekitar 59,9 juta atau sekitar 34,8 persen penduduk dewasa
(berumur di atas 15 tahun) Indonesia adalah pengguna tembakau untuk
merokok (selanjutnya disebut perokok).
Jumlah perokok dipastikan bakal lebih besar lagi
bila cakupan umur diperluas hingga mencakup penduduk yang belum dewasa
atau di bawah 15 tahun. Faktanya, dalam kehidupan sehari-hari tidak
sulit bagi kita untuk menjumpai anak usia Sekolah Menengah Pertama
(SMP), bahkan usia Sekolah Dasar, yang mengisap rokok.
Celakanya, 2,3 juta perokok di Indonesia adalah
perempuan. Sekitar 1,6 juta perempuan dewasa bahkan terbiasa merokok
setiap hari (daily smokers). Secara rata-rata, mereka
menghabiskan sekitar 6 batang rokok per hari. Prevelensi merokok juga
sangat tinggi pada kelompok usia muda. Faktanya, sekitar 25,2 persen
perokok berada pada kelompok usia 15-24 tahun.
Terkait bahaya yang diakibatkan oleh kebiasaan
merokok, fakta ini tentu saja merupakan ancaman bagi Indonesia di masa
datang, tidak hanya dari segi kesahatan, tetapi juga ekonomi. Biaya
kesehatan yang dikeluarkan untuk berbagai penyakit yang diakibatkan oleh
kebiasaan merokok akan menggerus Produk Domestik Bruto (PDB). Selain
itu, Indonesia juga terancam kehilangan generasi usia produktif yang
berkualitas (sehat) yang sangat penting untuk mamacu akselerasi
pertumbuhan ekonomi.
Yang juga tak kalah miris adalah fakta bahwa
prevelensi merekok lebih banyak dijumpai di desa ketimbang di kota.
Faktanya, sekitar 37,7 persen penduduk pedesaan adalah perokok. Tidak
membikin heran bila kemudian rokok mendapat posisi penting dalam pola
konsumsi penduduk pedesaan yang sebagian besar bergulat dengan
kemiskinan. Secara faktual, 63 persen penduduk miskin tinggal di desa.
Mirisnya, meski hidup serba kekurangan, konsumsi
rokok oleh penduduk miskin cukup tinggi, menempati posisi ke-2 setelah
beras. Padahal, uang yang dikeluarkan untuk membeli rokok tidaklah
sedikit. Hasil GATS menunjukkan, uang yang dihabiskan untuk membelik
rokok kretek saja rata-rata sudah mencapai Rp369.948 per bulan.
Bayangkan, bila uang ini digunakan untuk keperluan pendidikan atau
kesehatan, tentu lebih bermanfaat.
Itulah sejumlah fakta menarik mengenai rokok di
Indonesia. Untuk menyikapi hal ini, pemerintah hendaknya melakukan
upaya-upaya berikut: memperketat aturan hukum dan regulasi mengenai
rokok; kampanye anti rokok harus lebih gencar lagi; cakupan kawasan
bebas rokok juga harus diperluas dan aturan sanksi dalam soal ini juga
harus dijalankan, jangan hanya garang di atas kertas. (*)
Sumber : Kadir Ruslan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar